SHNet, Jakarta – Gubernur Bali, Wayan Koster menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. Hal tersebut lantas memicu reaksi pelaku usaha dan asosiasi lantaran dinilai bakal memberikan efek negatif bagi negatif bagi industri dan masyarakat.
“Kalau kita lihat tujuan dan maksudnya pelarangan itu memang baik, tetapi yang disayangkan kenapa harus melarang produksi air minum yang di bawah satu liter. Ini kan sudah sangat mengintervensi atau sudah masuk ke ranah makanan dan minuman,” kata Ketua Apindo Bali, I Nengah Nurlaba.
Dia mengatakan, SE itu akan mengganggu keberlangsungan usaha industri-industri air kemasan yang ada di Bali, baik besar maupun industri kecil. I Nengah Nurlaba pun berharap pemerintah provinsi (pemprov) Bali mengkaji ulang kebijakan tersebut.
“Bijaklah untuk mempertimbangkan lagi kebijakannya supaya tidak ada pihak-pihak seperti pengusaha UMKM dan juga pedagang-pedagang masyarakat yang nantinya terimbas,” katanya.
Dalam peluncuran gerakan Bali bersih sampah yang dilakukan pemprov Bali pada Jumat (11/4/2025) lalu, Gubernur Wayan Koster memaparkan komposisi jumlah sampah yang ada di Bali. Dia mengungkapkan kalau volume sampah di Bali mencapai 3.436 ton/hari, dimana 60 persen merupakan sampah organik yang bisa diolah.
Sampah rumah tangga lebih dari 6 persen, sampah pasar lebih dari 7 persen dan dari aktivitas perdagangan lebih dari 11 persen dan sampah plastik 17 persen. Pengelolaan sampah yang ada saat ini melalui pola penanganan sekitar 16 persen, cara pengurangan 18 persen, dibawa ke TPA 43 persen dan dibuang ke sembarang tempat 23 persen.
“Dan ini yang kacau, dibuang ke sembarang tempat di lingkungan, nggak jelas ilegal itu 23 persen itu yang harus ditertibkan,” katanya.
Dalam kesempatan itu dia juga memaparkan bahwa sampah plastik di Bali telah mencemari pantai. Namun, sampah-sampah tersebut tidak hanya datang dari Bali, tetapi berasal dari luar pulau seperti Jawa Timur, Kalimantan hingga Sulawesi.
Dia pun meminta pemerintah pusat agar membantu memecahkan masalah ini agar ada kerjasama dengan daerah-daerah lain tidak ikut mencemari perairan Bali. Meski demikian, Koster mengungkapkan bahwa pantai tersebut sudah kembali bersih berkat bantuan operasi semut dari Babinsa TNI.
“Tapi nggak bisa terus-terusan minta tolong, jadi harus mulai mengendalikan diri untuk membuang sampah sembarangan,” katanya.
Penerbitan SE nomor 9 tahun 2025 memang merupakan cara pemprov Bali mengendalikan peredaran sampah. Namun, klausul pelarangan produksi dan distribusi air minum kemasan di bawah 1 liter memicu kritik dari beragam kalangan karena dapat berdampak pada masyarakat, pariwisata dan berujung pada ekonomi daerah.
Mengutip data Sungai Watch terkait sampah di Bali dan Banyuwangi, limbah air minum kemasan botol PET hanya 4,4 persen. Masih lebih banyak kemasan sachet (5,5 persen), kantong plastik (15,2 persen) dan plastik bening (16,2 persen). Kecuali kemasan sachet, semua jenis sampah plastik ini masih memiliki nilai ekonomis karena bisa di daur ulang.
Sejalan dengan data itu, Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Pris Polly Lengkong mengungkapkan bahwa SE tersebut bukan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan sampah di Bali. Dia mengungkapkan kalau air kemasan plastik merupakan salah satu komoditas tertinggi dari limbah plastik karena selalu menjadi incaran para pemulung.
“Harusnya jangan keluarkan SE yang membatasi tetapi keluarkan investasi untuk membangun industri daur ulang karena itu yang kurang di Bali,” katanya. Sejauh ini, IPI mampu menyerang lebih dari 80 persen sampah plastik di Bali.
Pris Polly mengatakan, pemprov Bali sebenarnya bisa menangani permasalahan sampah yang ada asalkan mau membangun industri daur ulang. Dengan adanya industri tersebut, sambung dia, limbah plastik yang telah diolah dapat di daur ulang menjadi barang lain atau kembali menjadi botol minuman.
Dia mengungkapkan, selama ini pemulung di Bali selalu mengekspor hasil olahan limbah plastik yang sudah di press atau digiling ke Jawa. Dia melanjutkan, hal ini membuat pengolahan dan pengelolaan limbah di Bali tidak berjalan maksimal sehingga masih menyisakan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Senada, Anggota DPD asal Bali, Niluh Djelantik menegaskan bahwa pemerintah tidak seharusnya mengeluarkan aturan yang mengganggu pendapatan UMKM, pariwisata, kegiatan adat, upacara dan lain-lainnya. Dia meminta pemerintah mengkaji lagi SE tersebut, termasuk berkenaan dengan produksi dan peredaran air kemasan di bawah 1 liter.
“Tidak semua orang kuat bawa air botolan 1,5 liter. Tetapkan saja air kemasan botol minimal 650ml dan berikan aturan tegas bagaimana botol itu harus dikelola, sudah sangat membantu memerangi sampah plastik,” katanya.