SHNet, Jakarta-Kebijakan pelarangan truk sumbu 3 yang diberlakukan hampir di setiap hari-hari besar keagamaan bisa membuat lesunya industri dan melemahkan daya saing produk dalam negeri. Jika itu terjadi, niscaya target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah sebesar 8% bisa terwujud.
“Bayangkan, jika industri kita sering diganggu oleh kebijakan-kebijakan seperti pelarangan truk sumbu 3 pada hampir setiap hari-hari besar keagamaan, bisa dipastikan sangat sulit bagi pemerintah untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. Apalagi waktu pelarangan itu diberlakukan sangat lama seperti saat Lebaran nanti,” ujar Pengamat Ekonomi Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Aknolt Kristian.
Dia mengatakan kebijakan pelarangan truk sumbu 3 itu pasti akan berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi. Di sektor ekspor atau eksternal, menurutnya, kebijakan pelarangan itu bisa memunculkan ketidakpercayaan luar negeri terhadap para eksportir di Indonesia. Pasalnya, lanjutnya, pelarangan truk sumbu 3 itu akan membuat terlambatnya pengiriman barang ke negara-negara penerimanya. “Jadi, jangan sampai kemudian kita nanti kena masalah wanprestasi yang bisa memunculkan ketidakpercayaan dari mereka,” tukasnya.
Jika itu terjadi, dia mengutarakan industri di dalam negeri Indonesia bisa lesu. Padahal, katanya, pemerintah ingin mewujudkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. “Rasanya itu sesuatu yang mustahil bisa dicapai jika industri di dalam negeri tidak dijaga pertumbuhannya,” ucapnya.
Selain itu, dia menyampaikan seharusnya pemerintah juga melihat situasi geopolitik global yang terjadi saat ini sebelum membuat kebijakan pelarangan itu. Dia mencontohkan Amerika Serikat yang menjadi pasar ekspor utama non migas Indonesia saat ini yang sedang ketat dan tidak bersahabat dengan negara-negara yang biasanya mengekspor produk-produknya ke sana. Dan jangan lupa, katanya, fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) Indonesia dengan Amerika itu sekarang dalam masa negosiasi, dan Presiden Donald Trump kelihatannya agak keberatan dengan negara-negara yang punya trade surplus seperti Indonesia.
“Jadi, jangan sampai di pasar Amerika atau pasar internasional lainnya, ekspor Indonesia itu terganggu hanya karena kebijakan-kebijakan seperti pelarangan truk sumbu 3 ini,” tukasnya.
Apalagi, lanjutnya, Indonesia baru bergabung menjadi anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), dan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Menurutnya, strategi ini bertujuan agar produk-produk Indonesia bisa lebih mudah masuk ke pasar-pasar mereka. “Tapi, jika pemerintah malah membuat kebijakan yang justru menghambat masuknya produk-produk kita ke pasar internasional, tidak ada gunanya kita masuk BRICS dan OECD,” katanya.
Yang jelas, katanya, kalau pasar ekspor Indonesia terganggu, pasar domestik juga pasti akan terganggu karena akan muncul multiplier effect. “Karena, salah satu produk unggulan kita itu adalah produk-produk ekspor yang bisa menyumbang pemasukan untuk kas negara,” tandasnya.
Selain ekspor, menurutnya, pelarangan truk sumbu 3 ini juga akan berdampak terhadap penambahan biaya industri lokal. Disampaikan, dalam bisnis itu ada yang namanya fixed cost atau biaya tetap seperti biaya gaji pegawai, sewa tempat, penyusutan aset, bunga pinjaman, dan tagihan listrik. “Biaya-biaya itu kan tidak mengenal istilah hari libur. Ini seharusnya yang juga perlu menjadi pertimbangan pemerintah sebelum memberlakukan kebijakan pelarangan itu,” ucapnya.
Ekonom Indef, Didik J. Rachbini juga menyarankan agar pelarangan truk sumbu 3 itu cukup 8 hari saja, 6 hari sebelum Lebaran dan 2 hari setelah Lebaran. “Jadi, memberi kesempatan untuk orang yang mudik Lebaran dan industri juga tidak dirugikan,” katanya.
Sementara, Pakar Logistik dari Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI), Agus Purnomo menuturkan kebijakan pelarangan angkutan logistik pada momen hari-hari besar keagamaan seperti Lebaran, akan mematikan aktivitas rantai pasok dari hulu ke hilir. Menurutnya, kerugian yang ditimbulkannya pun bisa mencapai triliunan rupiah per harinya.
“Kebijakan ini tidak hanya merugikan industri atau produsen barangnya saja, tapi dari hulu ke hilir mulai dari supplier, manufaktur, perusahaan logistik, sampai customer. Jadi, kalau satu hari saja tidak beroperasi, kerugian ekonominya bisa mencapai triliunan rupiah,” ujarnya. (CLS)