SHNet, Bali-Para aktivis lingkungan mempertanyakan Gubernur Bali I Wayan Koster yang sama sekali tidak melarang produksi dan distribusi kemasan sachet dalam Surat Edarannya (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. Anehnya, dalam salah satu pasalnya di SE itu, Gubernur malah dengan tegas melarang produk air minum kemasan berukuran di bawah satu liter yang jelas-jelas memiliki nilai ekonomi dan mudah didaur ulang.
Muhamad Kholid Basyaiban, Koordinator Program Sensus Sampah Plastik Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) mengatakan sampah sachet ini merupakan kategori sampah residu yang sangat sulit didaur ulang. Dia mengutarakan sampah plastik dari kemasan sachet itu berasal dari household atau kebutuhan rumah tangga seperti sabun cuci pakaian dan cuci piring serta dari food packaging. Menurutnya, banyaknya masyarakat yang menggunakan kemasan sachet ini karena harganya yang memang sangat terjangkau, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia. “Jadi, kalau ini memang benar-benar tidak serius untuk dihentikan dan potensi sampahnya sangat banyak, nanti tidak akan bisa diapa-apai, ini bisa menjadi petaka bagi penanganan sampah ke depannya,” tukasnya.
Dia mengungkapkan berdasarkan brand audit sampah yang dilakukan pada April 2024 lalu, BRUIN menemukan sampah dari kemasan sachet di Bali itu sangat dominan juga selain sampah-sampah unbranded seperti kresek dan styrofoam. “Kalau ngomongin sachet waktu kami melakukan brand audit sampah di Bali itu juga dominan. Sampah-sampah ini nggak bisa didaur ulang juga. Mereka ini sampah-sampah residu,” katanya.
Dia melihat kemasan sachet ini memang seperti strategi pangsa pasarnya para produsen untuk menghimpun keuntungan besar. “Sasaran mereka semua elemen masyarakat karena nilai-nilai yang ditawarkan yaitu praktis, awet, bisa dibawa kemana-mana dan efisien, serta ekonomis. Nah, itu yang menjadi problem ketika sampah sachet ini diminati, berbalik dengan penanganan pasca konsumsinya,” ucapnya.
Karenanya, meskipun mendukung SE Gubernur Bali untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai, dia juga sangat menyayangkan adanya diskriminatif dalam penanganan sampah di Bali ini. “Kenapa justru sampah sachet yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak bisa didaur ulang sama sekali tidak ada larangan bagi produsen untuk menjual dan mendistribusikan produknya di Bali. Tapi anehnya, justru sampah yang memiliki nilai ekonomi dan mudah didaur ulang seperti air minum kemasan ukuran di bawah satu liter itu sangat menjadi perhatian Pemprov Bali dalam Surat Edaran Gubernurnya. Ini sangat kami sayangkan, sepertinya menganggap bahwa sampah dari kemasan sachet itu tidak berbahaya sama sekali,” ucapnya.
Memang, berdasarkan pengalaman saat melakukan brand audit sampah itu, dia mengakui sangat susah untuk mendeteksi sampah sachet ini. “Karena sifat sachet itu mungkin ketika di air itu akan tenggelam dan lewat arus bawah sungai yang sangat dalam,” tuturnya.
Tapi, menurutnya, meskipun sampah dari kemasan gelas dan botol air minum banyak tercecer di lingkungan, sampah-sampah ini memiliki nilai ekonomis ketika ada di tangan para pemulung. “Yang jelas, sampah jenis ini pasti akan terkelola dibandingkan dengan sachet yang ketika tercecer di lingkungan tidak ada yang mau mengambilnya. Bahkan, pemulung saja gak mau ambil karena tidak ada nilai ekonomisnya, gak ada nilai jualnya. Jadi, sangat disayangkan kalau dalam kebijakannya itu Pemprov Bali sedikitpun tidak menaruh perhatian terhadap sampah sachet ini,” tandasnya.
Seharusnya, menurutnya, kalau mau bicara mengenai sampah itu, perhatian utama setiap pemprov itu termasuk Pemprov Bali adalah sampah plastik sachet. “Artinya, para produsen kemasan sachet itu juga harus dilarang memproduksi sachet,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Alaika Rahmatullah, Koordinator Audit Merek Ecoton, yang mengatakan tingkat keresahan masyarakat terhadap sampah kemasan sachet ini akan semakin mendalam. “Apalagi para produsen besar yang memproduksi sachet ini memperlihatkan sebuah paradoks yang menggelisahkan. Tidak hanya melihat jumlahnya, tetapi tentang bagaimana tanggung jawab produsen terhadap dampak lingkungan dari kegiatan bisnis mereka,” ucapnya.
Dia juga menyayangkan SE Gubernur Bali yang sama sekali tidak menyoroti sampah sachet ini. “Padahal, sebenarnya sampah sachet ini harus menjadi sorotan utama karena sampahnya yang susah didaur ulang,” katanya.
Menurutnya, dalam menangani masalah sampah itu tidak boleh ada tebang pilih. “Pemrov Bali tidak boleh tebang pilih dalam menangani permasalahan sampah plastik sekali pakai ini. Apalagi sampai melarang kemasan sampah plastik yang mudah didaur ulang tapi malah membiarkan produsen pemicu sampah yang susah didaur ulang seperti kemasan sachet,” ucapnya.
Program Manager Toxics and Zero Waste Nexus3 Foundation, Ninditha Proboretno, mengungkapkan Bali juga sebenarnya memiliki masalah terkait sampah sachet dan bukan hanya sampah dari kemasan air minum gelas plastik dan botol saja. “Jadi, kalau benar-benar mau mengurangi sampah di Bali itu, seharusnya semua jenis plastik sekali pakai itu dilarang berproduksi termasuk sachet dari produk-produk makanan dan minuman serta produk kebersihan,” pungkasnya.
Dia menuturkan berdasarkan brand audit yang pernah dilakukan Nexus3 di Bali pada 2019 lalu, ditemukan ada sejumlah produsen besar yang menyumbangkan sampah sachet di Bali. “Sayangnya, sepertinya setiap tahun produsen-produsen ini tetap menjadi penyumbang sampah sachet terbesar di Bali. Seharusnya, mereka kan juga harus dikenakan larangan untuk memproduksi produk-produk kemasan sachet kalau mau mengurangi sampah plastik sekali pakai. Apalagi, sampah-sampah sachet ini tidak bisa terurai dan sulit didaur ulang serta tidak memiliki nilai ekonomi bagi para pemulung dan industri daur ulang,” ungkapnya.
Seperti diketahui, larangan Gubernur Bali terhadap produsen kemasan gelas dan botol air minum ini disebut-sebut mengacu terhadap riset yang dilakukan Sungai Watch. Adapun pengauditan sampah oleh Sungai Watch ini dirangkum dalam sebuah laporan berjudul “Sungai Watch Impact Report 2024”. Dari penjaringan sampah yang dilakukan Sungai Watch di sungai-sungai yang ada di Bali dan Banyuwangi, Jawa Timur sepanjang 2024, diperoleh waste audit di mana 5,5% dari sampah yang terjaring merupakan sampah sachet dan hanya 4,4% sampah dari air minum kemasan plastik sekali pakai. Ditemukan 91.667 item sachet pada lokasi audit yang berhasil terjaring di sungai-sungai yang ada di Bali dan Banyuwangi. Jadi, wajar jika beberapa aktivis lingkungan pun mempertanyakan perihal SE Gubernur Bali yang sama sekali tidak menyoroti sampah sachet ini dalam kebijakannya. (CLS)