JAKARTA – Metode penghitungan suara merupakan variabel utama dari sistem pemilu yang bertugas untuk mengkonversi suara menjadi kursi. Metode penghitungan suara paling tidak berpengaruh pada tiga hal: derajat proposionalitas suara, jumlah perolehan kursi partai politik, dan sistem kepartaian. Sehingga meski terkesan sangat teknis matematis, pilihan terhadap metode penghitungan suara menjadi arena keberlangsungan hidup partai politik dalam negara demokrasi.
Dalam sistem pemilu proposional kita diperkenalkan dengan dua rumpun metode penghitungan suara: Kuota dan Divisor. Pada rumpun metode penghitungan kuota terdapat dua teknik penghitungan suara yakni Kuota Hare dan Kuota Droop. Kuota Hare merupakan salah satu teknik penghitungan suara yang sudah tidak asing di Indonesia karena metode ini paling sering digunakan dari pemilu ke pemilu.
Terdapat dua tahapan yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi melalui teknik penghitungan Kuota Hare. Pertama, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus V (vote) : S (seat). Kedua, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing partai politik dalam satu daerah pemilihan dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu dapil di bagi dengan hasil hitung harga satu kursi.
Serupa dengan Kuota Hare, teknik penghitungan suara Kuota Droop memiliki dua tahapan penghitungan. Hanya saja ketika menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan, Kuota Droop mengharuskan jumlah alokasi kursi dalam satu daerah pemilihan di tambah satu. Sehingga rumus penghitungannya menjadi V : (S+1).
Berbeda dengan rumpun metode penghitungan suara Kuota. Metode penghitungan Divisor tidak menerapkan harga satu kursi sebagai bilangan pembagi untuk mencari perolehan kursi masing-masing partai. Akan tetapi metode penghitungan Divisor memiliki bilangan tetap untuk membagi perolehan suara masing-masing partai dengan logika jumlah perolehan suara tertinggi dari hasil pembagian di urutkan sesuai dengan alokasi kursi yang disediakan dalam satu daerah pemilih, berhak untuk memperoleh kursi.
Metode penghitungan suara Divisor terbagi kedalam tiga teknik penghitungan suara. Pertama, teknik penghitungan suara Divisor D’Hond dengan bilangan pembagi suara 1,2,3,4,5,6,……dst. Kedua, teknik penghitungan suara Divisor Sainte Lague yang menerapkan bilangan pembagi suara berangka ganjil mulai dari 1,3,5,7,9,….dst. Ketiga, penghitungan suara Divisor Sainte Lague Modifikasi dengan bilangan pembagi suara 1.4,3,5,7,9,….dst.
Untuk mengetahui secara lebih spesifik bagaimana masing-masing teknik penghitungan suara bekerja. Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) melakukan simulasi penghitungan ulang perolehan suara partai politik hasil perolehan suara pada sPemilu 2014 menggunakan lima metode konversi suara menjadi kursi: Kuota Hare, Kuota Drop, Divisor D’Hond, Divisor Sainte Lague, dan Divisor Sainte Lague Modifikasi.
Terdapat tiga tujuan yang hendak di jawab dari simulasi ini: Pertama, untuk mengetahui sejauh mana perbedaan kursi yang diperoleh masing-masing partai. Kedua, bentuk sistem kepartaian yang di lihat dari indeks effective numbers party parliament. Ketiga tingkat disproposionalitas suara yang diukur dari indeks Least Squares Indices.
Simulasi pertama menggunakan teknik penghitungan Kuota Hare atau yang lebih dikenal dengan istilah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Hasil simulasi ini serupa dengan hasil Pemilu 2014 yang juga menerapkan teknik penghitungan Kuota Hare. Hanya saja selama ini kita terjebak pada pemahaman sistem kepartaian yang di ukur dari jumlah partai politik di DPR. Padahal sistem kepartaian dari pola interaksi antar partai politik yang dipengaruhi oleh komposisi dan konsentrasi kursi. Dari sinilah kemudian Laakso dan Taagepara menghasilkan rumus hitung yang dikenal dengan istilah indeks effective numbers party parliement (ENPP) untuk melihat distribusi konsentrasi kursi yang dimiliki oleh partai politik.
Berdasarkan hasil hitung indeks ENPP, Pemilu 2014 dengan teknik penghitungan Kuota Hare menghasilkan sistem multipartai ekstrim dengan jumlah delapan partai politik relevan di DPR. Dalam hal ini meskipun terdapat sepuluh partai politik yang berhasil duduk di kursi DPR, akan tetapi hanya delapan partai politik yang memiliki peran signifikan untuk mempengaruhi interaksi antar partai dalam memformulasikan kebijakan.
Selain itu, untuk mengukur sebara jauh proposionalitas Kuota Hare dalam mengkonversi suara menjadi kursi pada Pemilu 2014 lalu. Kami menggunakan rumus indeks hitung Least Squares Indices (LSq) yang diperkenalkan oleh Michael Gallagher dengan logika bekerja semakin kecil angka yang diperoleh semakin proposional. Adapun indeks LSq Pemilu 2014 ialah 2.7 yang berarti hasil pemilu cenderung lebih proposional.
Simulasi kedua menggunakan teknik penghitungan Kuota Drop. Perbedaan utama dari model penghitungan ini dengan Kuota Hare ialah adanya rumus hitung untuk mencari bilangan pembagi pemilih dengan menambah angka satu dari alokasi kursi yang tersedia dalam satu daerah pemilhan. Alhasil terdapat perbedaan perolehan kursi yang cukup signifikan dari masing-masing partai politik.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengalami surplus kursi yang cukup signifikan besarannya yakni sebanyak 32 kursi. Jika menggunakan Kuota Hare PDIP memperoleh kursi 109, sedangkan menggunakan Kouta Drop total akhir perolehan kursi mencapai 141. Bertambahnya jumlah perolehan kursi di alami pula oleh Partai Gerindra yang pada Pemilu 2014 memperoleh 73 kursi. Tetapi ketika teknik penghitungan suara di rubah menjadi Kuota Drop, Partai Gerindra berhasil meraih kursi tambahan sebanyak 19. Sehingga total akhir perolehannya sebanyak 92 kursi.
Meski demikian, terdapat pula beberapa partai politik yang justru mengalami pengurangan kursi dari penerapan teknik penghitungan Kuota Drop ini seperti PKS, Demokrat, PAN, PPP, Nasdem, dan Hanura. PKS misalnya, jika menggunakan teknik penghitungan Kuota Hare layaknya Pemilu 2014 meraih 40 kursi DPR. Akan tetapi ketika teknik penghitungan di rubah menjadi Kuota Drop jumlah kursi yang di peroleh PKS berubah menjadi 29 kursi, yang berarti berkurang 11 kursi. Begitu pula dengan PPP yang semula meraih 39 kursi dengan menggunakan teknik penghitungan Kuota Hare, menjadi 23 kursi menggunakan Kuota Drop.
Dengan berubahnya jumlah kursi yang dimiliki oleh sepuluh partai politik di DPR, berdampak pula pada perubahan sistem kepartaian yang terbentuk. Berdasarkan hasil hitung indeks ENPP, teknik konversi suara menjadi kursi Kuota Drop mampu menghasilkan indeks ENPP sebesar 6.7 atau terdapat enam partai politik yang memiliki pengaruh cukup siginifikan untuk menghasilkan kebijakan publik. Dengan kata lain terdapat penyederhanaan sistem kepartaian dari hasil Pemilu 2014 lalu yang menggunakan Kuota Hare. Akan tetapi, derajat disproposionalitas cenderung meningkat dengan hasil indeks LSq sebesar 6.9.
Simulasi ketiga menggunakan rumpun kedua dari metode penghitungan suara menjadi kursi yakni Divisor dengan teknik penghitungan Divisor D’Hondt. PDIP, Golkar, dan Gerindra menjadi tiga partai politik yang diuntungkan dengan teknik penghitungan ini dengan bertambahnya jumlah perolehan kursi. PDIP meraih 28 tambahan kursi, Golkar sebanyak 27 kursi, dan Gerindra meraih 5 kursi tambahan. Sedangkan ketujuh partai politik lainnya mengalami penurunan jumlah perolehan kursi.
Untuk hasil hitung Indeks ENPP sendiri, teknik penghitungan Divisor D’Hondt tidak jauh berbeda dengan hasil indeks ENPP dari teknik konversi suara menjadi kursi versi Kuota Droop. Divisor D’Hondt menghasilkan Indeks ENPP sebesar 6.6 yang artinya konsentrasi kursi yang cukup signifikan untuk mempengaruhi interaksi antara partai politik terdapat di enam partai politik DPR. Sedangkan indeks dispropisionalitas yang dihasilkan cenderung meningkat menjadi 7.3.
